Rabu, 01 Maret 2017

Tradisi Sastra Nusantara: Sastra Lisan dalam Dunia Anak di Kepulauan Jawa

Sastra Lisan Dalam Dunia Anak di Kepulauan Jawa

Lagu permainan anak-anak adalah lagu-lagu yang didendangkan oleh anak-anak dalam permainan mereka. Lagu-lagu seperti ini sudah tertentu teksnya diiringi dengan gerak ataupun tindakan permainan, misalnya sapu-sapu rangik, para peserta menyusun kaki mereka berjajar, di antara mereka ada yang menyapu kaki-kaki itu dengan jarinya sambil mendendangkan:

 “cak cak min min bilalang katibarau, Inggok-inggok batu licin nak garak angguran, Ari pas pasti takok nan ma nan barisi”

Peserta permainan ini akan menerka tangan mana dari salah seorang peserta yang berisi batu atau kelereng, peserta permainan ini siapa saja di antara anak-anak itu yang mau. Untuk dapat mendendangkan lagu itu kita tidak perlu belajar. Ikuti saja dalam permainan mereka dan kita akan bisa dengan sendirinya.

Berikut dua contoh permainan tradisional yang ada di pulau jawa.

Kasih Berirama di Pangkuan Sang Bunda
“Slulu’-slulu’ bato’, bato’e ela elo, si romo menyang solo ole’ ole’e payung monto ta’ jentit lolo lobah, wong mati ora obah, ne’ obah medeni bocah, ne’ urip gole’ duwik.”
Terngiang suara merdu serak dalam ingatan ayah saya, ketika itu ia teringat mendiang ibunya. Sedehna sekali jika dibandingkan dengan permainan di era dewasa ini, tetapi kasih sayang yang terajut di era itu sungguh mengalahkan permainan instan di kehidupan modern ini.

Lagu ini dinyanyikan olah orangtua yang bermain dengan anaknya. Cara bermainnya adalah sang ibu memangku sang anak, sang anak berbaring di atas kaki sang ibu yang lurus memanjang, lalu sang ibu menyanyi sambil mengusap-usap kaki dan lutut anaknya yang berbaring berlawanan arah di atas kaki ibunya.

Dalam budaya jawa, sangat banyak permainan tradisional yang sangat kreatif. Contoh yang paling familiar adalah “cublek-cublek suweng.” Bedanya, permainan ini dimainkan oleh orangtua dan anaknya. Ketika sore dan waktu bersantai tiba sembari senja menyapa, sebuah keluarga berduduk santai di halaman rumah yang luas, sang ibu memangku anaknya dan bermain dengan lantunan irama yang asyik.

Bagian menyenangkannya berada pada saat lirik “ne’ obah medeni bocah...” sang ibu menarik tangan sang anak agar bangun dari pangkuannya. Pada saat lirik terakhir dinyanyikan “ne’ urip gole’ duwik.” Sang ibu menggelitik perut sang anak dan sang anak tertawa bahagia.

Tembang Jamuran Bulan Purnama
“Sore pun tiba, anak-anak berusia sekitar 6 sampai 12 tahun berkumpul di tanah lapang yang luas. Mereka tidak membawa perkakas apa pun, cukup bertemu, menyapa, lalu ada satu hingga dua orang anak berinisiatif mengajak teman-temannya untuk bermain. Tak hanya sore, ketika malam hari saat bulan purnama pun mereka juga bermain”, itu ingatan yang Ayah kisahkan kepada saya.

Jamuran. Adalah permainan tradisional yang berasal dari pulau Jawa, yang di mainkan anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Tidak ada perbedaan di dalam permainan ini. Semua membaur dan bermain dengan riang sesuka hati. Mereka bermain dengan membentuk lingkaran, lalu satu orang anak berada di tengah-tengah lingkaran.
Tembang jamuran memiliki syair yang mengiringi permainan ini:

“Jamuran ya ge getho’-Jamur apa ya ge getho’-Jamur gajih mbergigih sak ara-ara sira mbadhe jamur apa?”

Ternyata dengan lirik yang sama terdapat pula versi permainan yang berbeda. Yang Ayah saya mainkan adalah anak-anak melingkar, bergandengan tangan, berputar sambil menyanyikan liriknya, lalu berhenti ketika lirik “...jamur apa?” di lantunkan, anak-anak yang membentuk lingkaran melepas tangan mereka, lalu sang anak yang berada di tengah-tengah berkata “jamur parut”, anak-anak secara bersamaan duduk lalu meluruskan kakinya ke depan, lalu sang anak yang berada di tengah menggelitik kaki teman-temannya satu persatu, jika ada yang merasa geli maka ialah yang ‘jadi’. Yang ‘jadi’ artinya yang kalah, maka ia menggantikan posisi si anak yang sebelumnya berada di tengah-tengah lingkaran teman-temannya. Begitu seterusnya sampai semua dapat bagian. Namun terdapat versi lain, yaitu sang anak yang berada di tengah lalu ia mencoba keluar dari lingkaran, namun yang ayah saya ingat hanya sedikit tentang itu. Terdapat dinamika kebudayaan dalam permainan ini. Yang perlu di jaga adalah sikap agar tidak menimbulkan kebencian pada teman-temannya (antipati). Bahasa yang digunakan dalam lagu permainan anak-anak ini adalah bahasa biasa, kadang tidak mempunyai arti leksikal, hanya demi kepentingan bunyi. Tidak ada soal estetika, yang penting untuk mengiringi permainan dan lagu itu tidak berhubungan dengan status sosial. Hanya sekedar permainan, untuk bersenang-senang dan berkawan. Estetika bukanlah tujuan utama, lagu itu diperlukan untuk mengomunikasikan permainan, menandai babak permainan dan menilai yang menang dan yang kalah.

Dalam budaya jawa, pergaulan sehari-hari orang jawa selalu berusaha menjaga diri agar setiap ucapan atau perkataannya dan juga tindakan-tindakannya agar tidak melukai perasaan orang lain. Pandangan yang dipakai untuk mengukur perasaan orang lain adalah perasaannya sendiri, tindakan itu disimbolkannya dengan ungkapan tepa selira. Drs. Soetrisno, Ph dalam bukunya, Falsafah Hidup Pancasila Sebagaimana Tercermin Dalam Falsafah Hidup Orang Jawa menyatakan bahwa tepa salira merupakan sikap dan perlakuan antara seseorang terhadap orang lain. Dikatakan pula oleh Luzbetak bahwa kebudayaan senantiasa berubah sebab individu-individu dari masyarakat secara tetap memodifikasi “plan for successful living”[1]. Alasan saya mengulas ini karena permainan ini secara tidak langsung menghafal jenis-jenis jamur, di mana pada zaman dulu pengetahuan alam dan pengetahuan umum sering di ajarkan dan melihat langsung dari alam daripada teori-teori.





Daftar Pustaka
[1] Raymundus Rede Blolong dalam buku Dasar-Dasar Antropologi Budaya
Amir Adriyetti, Sastra Lisan Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2013
Herusatoto Budiono, Simbolisme Jawa, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2008
Ras J.J, Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014


4 komentar: