Senin, 24 April 2017

Perpuisian Indonesia: Menghadap Meja Hijau?

Oleh: Sintya Alfatika Sari

Para hakim sudah duduk (meja mereka ditutup beledu hijau tapi palu sidang tidak ada, jadi pakai batu dibungkus koran), jaksa dan pembela begitu pula, serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan itu. Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya. Judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu, paling kurang pada dua kata pertama: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”

Kesusastraan Indonesia modern selalu diwarnai oleh perdebatan yang menyangkut berbagai hal. Misalnya dapat mencatat polemik mengenai ada tidaknya krisis dalam sastra Indonesia, adanya kasus yang katanya plagiat, manifes kebudayaan, cerpen dan novel ternama, metode kritik sastra, ada tidaknya Angkatan 66 dalam sastra Indonesia, Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir, peran sastra dalam perubahan sosial, mengenai Angkatan '70 atau '80 dalam sastra Indonesia, sastra kontekstual dan lain-lain. Dalam pembahasan kali ini (dalam polemik kesusastraan Indonesia) yaitu tentang Pengadilan Puisi Indonesia.

Pengadilan Puisi (PPIM) 1974, merupakan gagasan awal dari Yayasan Arena yang diselenggarakan di Universitas Parahyangan Bandung, 8 September 1974. Melalui Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail menerima surat dari Ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H., yang berisi undangan untuk baca sajak di Bandung dan mengikuti suatu acara kegiatan sastra. Pada saat Taufiq Ismail meminta untuk mengundurkan acaranya di minggu pertama atau minggu kedua bulan September. Maka dimulailah pada tanggal 8 September 1974. Sekitar dua minggu setelah itu, diselenggarakanlah acara “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” dari mereka (masyarakat sastra) di Bandung.
Si Terdakwa ialah Puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Anehnya, Sapardi Joko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa turut pula menjadi pembela. Demikian pula Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa,, berfungsi pula sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa, karena ia turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua para Saksi, yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri. Menurut saksi ini, semua, mereka itu hanya mendompleng pada gaya CA, dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.

Slamet Kirnanto dalam "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!" menyatakan "menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasal yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam "Peradilan Puisi Kontemporer", mengajukan tuntutan sebagai berikut:
“Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus "dipensiunkan" dari peranan yang pernah mereka miliki. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan. Para penyair mapan: Subagio, W.S Rendra, Goenawan Mohamad, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.”

Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh H.B. Jassin, terhadap tidak dibicarakannya Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan” oleh MSH dan HBJ, terhadap gejala “saling memuji” di dalam tiga serangkai Goenawan Mohamad cum Sapardi Djoko Damono cum Abdul Hadi W.M., terhadap Horison yang “tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus jadi majalah keluarga”, dan “tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi”.

Dalam Pengadilan Puisi ini sudah sewajarnya dihadirkan juga para penyair dan para kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Mengadili para penyair dan para kritikus in absentia. Sedangkan mereka tidak melarikan diri dan masih di dalam negeri ini, adalah suatu kelainan yang tidak boleh terjadi dalam prosedur pengadilan di negeri mana pun yang menghormati keadilan. Yang diadili adalah Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo dan W.S. Rendra.

Adapun ketidakpuasan yang melatar belakangi Pengadilan Puisi:
1. Sistem penilaian terhadap puisi
2. Kritikus sastra Indonesia
3. Media yang memuat karya sastra
4. Penyair yang dianggap mapan.

Menurut gagasan Darmanto (1970) bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Alhasil, Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, terdapat orang-orang yang memberikan kesaksian dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan. Jaksanya adalah seorang Slamet Kirnanto. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman yang didampingi hakim Darmanto.

Media sastra Horison dan Budaya Jaya di anggap tidak mampu lagi menjalankan perannya dengan penuh pertanggung jawaban. Pada awalnya Horison menunjukkan janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya sastra yang sehat tiba-tiba terjerumus menjadi majalah keluarga. Mendoktrin mereka agar memilih sastra sesuai selera mereka. Mereka lupa bahwa majalah tidak hanya tergantung pada kemauan redaksi, melainkan karena didukung oleh penulis-penulis dan publik pembaca. Terlebih para redaktur, adalah seniman-seniman yang secara tidak langsung melibatkan diri dibalik penulisan tersebut, yang mengandung semacam keadaan di mana hanya karya-karya yang mirip atau memiliki kecenderungan yang sama dengan mereka lah yang sudah pasti akan di muat karyanya. (Eneste, 1986)

Apabila seorang kritikus dianggap tidak becus, lebih simpatiklah rasanya bila tampil kritikus lain untuk memperlihatkan kelihaiannya, sehingga dengan sendirinya kritikus yang tidak becus itu tergeser dari kedudukannya. Demikian pula para penyair. Bukanlah mereka seharusnya saling menjelekkan, tapi hendaklah berusaha memberikan hasil yang baik menurut bakatnya. Manakah penyair yang disebut besar? Apakah ciri-ciri kebesaran sebagai penyair? Penyair manakah yang disebut penyair kecil dan apakah pula ciri-cirinya? Apakah yang disebut epigon? Di mana batas antara penyair besar, penyair kecil, dan epigon? Dapatkah dari semula mengatakan seorang penyair besar tanpa melihat perkembangannya ke depan? Tidakkah lebih baik menghubungkan epigonisme dengan pembentukan mazhab, yakni kumpulan atau golongan orang-orang sealiran dalam gaya tanggapan alam.pikiran? Bahwa ada kemungkinan persamaan-persamaan antara beberapa penyair seangkatan adalah suatu hal yang tidak selalu harus disebabkan karena epigonisme, tapi karena adanya persekeluargaan atau persenyawaan pikiran. Yang perlu diperhatikan adalah apakah ada pula perbedaan-perbedaan yang unik antara mereka semua. Dan apabila para penyair saling membicarakan sajak-sajaknya, bukanlah harus berarti bahwa mereka saling masturbasi, tapi karena memang ada saling simpati karena mengenali dan saling menyenangi oleh adanya persamaan alam pikiran. Inilah beberapa catatan yang bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir oleh HB Jassin.

Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya. Sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Bukan perkembangan puisi yang brengsek, sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Inilah jawaban M.S. Hutagalung terhadap tuntutan Slamet Kirnanto.

Menurut Sapardi Djoko Damono, tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang dibagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di Bandung. Ia berpendapat bahwa Kirnanto adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.

 Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir diadakan karena forum-forum resmi dianggap membosankan dan ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusatraan (dalam hal puisi). Bisa jadi kocak, menghambar atau juga bisa konyol. Mengenai forum ini merupakan cara berdiskusi yang baru. Menurut Goenawan Mohamad tentang "tuntutan" Slamet Kirnanto mengenai Pengadilan Puisi, Slamet Kirnanto menghantam H.B. Jassin, mengecam Horison, menabok epigonisme terhadap barat dan lain-lainnya, yang di anggap sebagai ke-klise-an. Baginya, Pengadilan Puisi menunjukkan ciri-ciri beberapa seniman yang gemar mencari bentuk baru dengan tingkah laku dan ucapan yang kontroversial untuk menarik khalayak umum.

Sumber: Eneste Pamusuk, Pengadilan Puisi, Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, 1986


Senin, 17 April 2017

Tali Nostalgia dari Lampau Untuk Samarinda

Dari Bongaya Ke Samarendah
Oleh: Sintya Alfatika

Legenda adalah cerita dari jaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Yang pasti, legenda pernah terjadi dan terjadi belum terlalu lama. Legenda bersifat sekuler, yaitu keduniawian. Legenda bersifat migratoris (berpindah-pindah), maka tak heran jika Legenda Malin Kundang, Legenda Tangkuban Perahu dan sebagainya sangat banyak versi (tergantung di daerah mana dan siapa yang menceritakan legenda tersebut). Karena legenda bervariasi, diperkirakan akan selalu ada pertumbuhan legenda di dunia.


Legenda memiliki jenis yang berbeda, di antaranya:
1. Legenda Keagamaan.
Legenda ini biasanya mengisahkan penghidupan orang-orang suci dan saleh, seperti Legenda Syekh Siti Jenar.
2. Legenda Alam Gaib.
Legenda ini berbau mistik dan sangat mendukung takhayul. Contoh, Legenda Hantu Kuyang yang sangat terkenal kisahnya di Pulau Kalimantan.
3. Legenda Perseorangan.
Legenda ini mengisahkan tentang seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa dan biasanya menggambarkan seseorang yang sangat sakti dan hebat. Misal, Jaka Tarub dan Gatot Kaca.
4. Legenda Setempat.
Legenda ini tentu saja tumbuh dan berkembang karena terdapat suatu tempat yang konon dipercaya terbentuk karena asal usul tertentu. Contohnya yaitu Legenda Batu Cermin dan Legenda Gunung Menangis yang ada di Pulau Kalimantan.


Berbicara tentang legenda kali ini saya menulis sedikit ulasan dan pengalaman mengenai Legenda seorang tokoh pembentuk Kota Samarinda, ia adalah La Mohang Daeng Mangkona.


La Mohang Daeng Mangkona adalah tokoh masyarakat sekaligus tokoh bersejarah di balik perkembangan Kota Samarinda. Ia adalah sosok berdarah Bugis yang pernah menetap di Samarinda Seberang bersama pengikutnya. Ia dimakamkan di Samarinda Seberang, Jl. ABD. Rasyid (Masjid Shiratal Mustaqim) atau Masjid Tertua di Kalimantan Timur. Hingga saat ini makam Daeng Mangkona dan pengikutnya ditetapkan sebagai Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona dan menjadi objek wisata religi utama di Samarinda.


Untuk berkunjung ke sana membutuhkan sedikitnya kurang lebih 38 menit perjalanan (ditinjau dari Pusat Perbelanjaan Citra Niaga Samarinda). Dari sana kita menyeberangi Sungai Mahakam dengan jalur alternatif andalan warga etam, yang akrab di sapa Jembatan Mahakam. Letak Jembatan Mahakam sangat strategis. Kita dapat menikmati semilir angin yang melaju ke muara sembari melihat gedung-gedung perbelanjaan modern yang menjulang tinggi di tepi Sungai Mahakam. Kapal kecil hingga besar layaknya mengadakan perlombaan sehingga terlihat melaju bersahabat. Tak lupa pepohonan yang rimba masih setia menghias bebatuan alam.


Tepat di Lokasi Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona kita disambut dengan baik oleh seorang juru kunci sekaligus penjaga makam Daeng Mangkona. Di sana kita dapat menggali informasi mengenai sejarah kedatangan Daeng Mangkona beserta pengikutnya. Diperkirakan makam Daeng Mangkona berusia sekitar 300 tahun. Konon, siapa saja yang dapat melihat sosok gaib (indigo) dapat bertemu dengan “penjaga” makam yang menurut saksi, berwujud ular dan berkepala seperti naga.


Lokasi Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona – Samarinda Sebrang.

Berikut adalah sedikit ulasan tentang sejarah terbentuknya Kota Samarinda.
Pada tanggal 18 November 1667 di sebuah desa yang dinamakan Bungaya yang terletak dekat Barombong yang direbut oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu diadakanlah perundingan. Perundingan inilah yang kemudian menghasilkan sebuah perjanjian yang terkenal di dalam sejarah Indonesia dengan nama "Perjanjian Bungaya." Oleh orang-orang Belanda perjanjian ini disebut "Het Bongaais Verdrag." Orang-orang Makassar menamakan perjanjian itu "Cappaya ri Bungaya" yang artinya Perjanjian di Bungaya. Tepatnya nama desa tempat perjanjian itu ditandatangani ialah Bungaya bukan Bongaya atau Bonggaya dan sebagainya. Adapun 10 pokok dari "Perjanjian Bungaya" kurang lebih sebagai berikut:

Pasal 1
Menyetujui perjanjian tanggal 19 Agustus 1660 yang di adakan di Batavia antara Karaeng Popo sebagai wakil berkuasa penuh Kerajaan Gowa dan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan Perjanjian yang disetujui pada tanggal 2 Desember 1660 oleh Kerajaan Gowa dan Jacob Cau sebagai Komisaris Belanda.

Pasal 2
Semua pegawai bangsa Eropa dan kawula Kompeni (VOC) yang ada di Sombaopu (Makassar) dan sekitarnya, baik yang baru saja menyebrang atau lari ke pihak Gowa maupun yang sudah lama berada di Gowa tanpa ada kecuali harus segera diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 3
Semua alat-alat, meriam-meriam, uang kontan dan barang-barang lainnya yang telah di ambil atau di sita oleh pemerintah Kerajaan Gowa yang berasal dari kapal "de Walvis" yang mendapat kecelakaan atau kandas di Pulau Selayar dan dari kapal "de Leuwin" yang kandas di Pulau Doang-Doangan (Don Doange) harus di serahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 4
Orang-orang yang bersalah karena di sana-sini telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda dan mereka yang telah merusak kapal-kapal Belanda akan dihukum di hadapan Residen Belanda.

Pasal 5
Orang-orang yang mempunyai hutang kepada Kompeni Belanda (VOC) harus membayar lunas segala hutangnya dalam waktu yang tidak begitu lama.

Pasal 6
Orang-orang Portugis dan orang-orang Inggris harus meninggalkan Gowa sebelum akhir tahun. Raja Gowa tidak boleh mengizinkan bangsa-bangsa Eropa yang lainnya untuk berdagang di dalam wilayah Kerajaan Gowa, pun tidak boleh menerima duta atau perutusan dan surat apa pun dari mereka.

Pasal 7
Semua orang Eropa kecuali Kompeni Belanda, dilarang berdagang di daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, hanya Kompeni Belanda saja yang boleh memasukkan atau menjual barang-barang dan bahan-bahan pakaian impor dari Parsi dan India serta barang-barang dari negeri Cina. Orang-orang yang melanggar ketentuan akan di hukum dan barang-barangnya akan di sita oleh Kompeni VOC. Dalam larangan ini tidak termasuk bahan-bahan pakaian kasar yang di tenun di daerah-daerah pesisir timur Pulau Jawa.

Pasal 8
Kompeni Belanda (VOC) dibebaskan dari segala bea dan biaya pemasukan atau pengeluaran barang-barang dagangan yang di angkut.

Pasal 9
Orang-orang Makassar hanya boleh berlayar ke daerah-daerah seperti Bali, Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor dan Kalimantan dengan memohon surat pas atau izin berlayar dari Kompeni VOC. Orang-orang yang didapati di daerah ini tanpa pas atau surat izin akan dianggap sebagai musuh ditangkap atau disita barang-barangnya. Selanjutnya orang-orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor, Timur dan lain-lainnya ke sebelah timur Selat Selayar, sebelah utara dan timur Pulau Kalimantan, ke Mindanau (Filipina) atau ke pulau-pulau di sekitarnya. Siapa yang melanggar hal ini akan di dapati di daerah-daerah ini dapat ditangkap dan disita barang-barangnya.

Pasal 10
Semua benteng di tepi pantai yang di perkuat untuk melawan Kompeni Belanda (VOC) seperti Benteng Barombong, Benteng Panakukan, Benteng Garassi, Benteng Marisso dan lain-lainnya harus di musnahkan, juga tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan yang baru di manapun. Hanya benteng Sombaupu yang besar itu yang boleh tetap berdiri untuk Kerajaan Gowa.

Belanda yang memang sangat licik dan pandai memilih serta mempergunakan saat yang sebaik baiknya. Menganggap sekarang sudah tibalah saatnya untuk mengadakan perundingan dan membicarakan soal perdamaian. Saat itu di pilih dengan tepat oleh Belanda dengan kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Aru Palaka dan pasukan-pasukan bugisnya pada saat terakhir itu pihak Kerajaan Gowa akan mengira bahwa pasukan-pasukan Belanda dan sekutunya masih segar dan hebat kekuatannya.

Sesungguhnya Perjanjian Bongaya ditandatangani namun ketegangan antara Kerajaan Gowa dan Belanda (VOC) masih berlangsung terus. Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan orang-orang Makassar ini sungguh melegakan hati orang-orang Belanda (VOC) yang sudah sangat payah keadaannya. Pasukan-pasukan Belanda (VOC) sangat menyedihkan keadaannya. Tidak kurang dari 182 serdadu dan 96 pelaut armada sangat gawat keadaannya.
Pada saat pecah Perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makassar dari laut, sedangkan Aru Palaka membantu menyerang dari daratan. Cornelis Janzoons Speelman adalah pimpinan militer dari Jenderal Hindia Belanda (1681-1684) yang lahir di Rotterdam, Belanda, 3 Maret 1628. Speelman terkenal karena berhasil merebut Surabaya dari tangan Mataram dan Trunajaya. Juga merupakan Gubernur Jenderal pertama yang mendorong transformasi dari penguasaan ekonomi tanah jajahan menjadi penguasaan teritorial. Speelman wafat di Jakarta pada 11 Januari 1684.

Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya tersebut, Dengan demikian masyarakat sulsel dihadapkan pada dua alternatif yaitu merantau atau tetap tinggal di tanah kelahirannya sebagai petani). Pedagang atau pelaut pada umumnya memilih alternatif pertama sehingga banyak menghasilkan kisah-kisah petualangan mereka di kawasan barat dan selatan nusantara.
Ada pula yang memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke pulau-pulau lain. Ia adalah La Mohang Daeng Mangkona, yang memilih meninggalkan tanah leluhurnya untuk melewati dan melintasi Selat Makassar menuju Kalimantan Timur, Kerajaan Kutai.

Rombongan La Mohang Daeng Mangkona cukup besar berjumlah berkisar 200 orang dan menggunakan 18 perahu. Kedatangan rombongannya diterima dengan baik oleh Sultan Adipati MojoKusuma (1650-1686) yang saat itu bertakhta di Pemarangan (sekarang Kampung Jembayan). Atas kesepakatan dan perjanjian oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut diberi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti Samarinda Seberang. Yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk berbagai macam usaha, baik pertanian hingga perdagangan. Di sinilah La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya membuka hutan mencatat areal persawahan tanah hujan. Mereka membangun rumah-rumah yang membujur sepanjang tepian Mahakam yang dikerjakan secara gotong-royong. Sama tinggi dan areal persawahan yang sama rendah dan dibagi rata yang menyebabkan perbedaan derajat kearistokratan yang sebenarnya dibawa dari tanah asal mereka menjadi hilang (egaliter). Untuk kepentingan pertahanan Daeng Mangkona dan pengikutnya diberi tempat yang subur di daerah pinggiran tepian Sungai Mahakam. Keberadaan di tempat tersebut selain membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dam perkembangan perekonomian Raja Kutai. Semakin lama kampung yang baru berkembang serta makmur. Pendatang dari Sulawesi menjadi banyak dan menetap menjadi penduduk.


Daerah itu pun dinamai Samarendah yang kian lama berubah menjadi Samarinda. Raja Kutai mengakui La Mohang Daeng Mangkona sebagai komunitas dengan gelar Pua Ado. Orang-orang Bugis Wajo mulai membangun pemukiman di daerah Samarinda pada Januari 1668. Yang kemudian menjadi patokan hari jadi kota Samarinda (21 Januari 1968). Seiring berjalannya waktu berkembanglah kampung-kampung dengan etnis berbeda di jantung Kota Samarinda, seperti dari Banjar Kalimantan selatan. Namun orang-orang Banjar membuka perkampungan kecil yaitu mulai dari daerah Loa Buah, Loa Bakung, Karang Asam, Air Putih hingga Karang Mumus. Terbentuknya pemukiman-pemukiman baru itu sering di pandang sebagai perluasan pemukiman kelompok kaumnya. Perluasan itu disebabkan beberapa faktor antara lain karena lahan mata pencahariannya jauh, padatnya jumlah penduduk dalam pemukiman awal, persebaran karena wabah dan konflik internal. Pada dasarnya karena faktor yang disebutkan itu memberikan kesempatan pada munculnya satu kesatuan baru yang terlepas dari pengaruh daerah awal. Di saat itu pula pengaruh Belanda juga semakin pesat dan menjadikan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan di seluruh Kutai dan menjadikan tempat yang mereka diami menjadi Samarinda Kota. Tadinya Samarinda yang dibangun Daeng Mangkona adalah pusat perwakilan Kerajaan Kutai. Yang lama kemudian berubah karena Belanda membangun perkembangan kota yang lebih maju dan menyatukan daerah seberang sungai menjadi Kota Samarinda.


Hari jadi Kota Samarinda merupakan sejarah keberadaan Kota Samarinda yang juga merupakan kebanggaan bagi warganya. Berdasarkan hasil keputusan seminar hari jadi Kota Samarinda yang berlangsung dari tanggal 5 s/d 6 September 1987 yang telah membahas dan menggali tanggal hari jadi Kota Samarinda dari sumber-sumber sejarah.


Sejarah Kota Samarinda sangat melekat erat dengan sosok La Mohang Daeng Mangkona, yang juga menyeret segelintir suasana pertentangan dengan pihak Hindia Belanda. Kisahnya membuat Samarinda semakin merekah. Yang sangat di sayangkan adalah kurangnya sumber informasi mengenai seberapa pentingnya seorang Daeng Mangkona bagi perkembangan Kota Etam. Maka harapan yang akan selalu di harapkan adalah semoga setelah ini akan tumbuh lagi referensi-referensi yang jauh lebih akurat, memuaskan, dan menarik mengenai informasi tokoh-tokoh penting di balik Kota Tepian ini.


Daftar Pustaka:
Balham Johansyah, Riwayat Samarinda dan Cerita Legenda Kalimantan Timur, Biro Humas Pemprov Kalimantan Timur, 2009
Muzakir Djahar dkk, Mari Mengenal Kota Samarinda, Penerbit CV Spirit Komunika, Samarinda, 2007
MD. Sagimun, Pahlawan Nasional Sultan Hasanudin: Ayam Jantan dari Ufuk Timur, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1992
Kerjasama Pemerintah Kotamadya Dati II samarinda dengan Kantor Statistik Kotamadya Samarinda, Monografi Kotamadya Dati II Samarinda 1992
Pemerintah Daerah Provinsi Tingkat I Kalimantan Timur, Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur Dari Masa Ke Masa, 1992
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun, 1979
Anwar Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Amelia Surabaya, 2003