Kamis, 04 Mei 2017

Lesung Jumengglung: Liukan Pedesaan Jawa

Lesung Jumengglung: Liukan Pedesaan Jawa
Oleh: Sintya Alfatika

Thok thok thek, thok thok gung
Thok thok thek, thok thek thok gung
Thok thok thek, thok thok gung
thok thok thek, thok thek thok gung

Begitulah sebagian lirik yang tertera. Kembali Ayah saya bercerita, bermaksud mengurai lagi memori yang Ia punya. Di masa kecilnya, Ia pernah menghabiskan waktunya di pedesaan. “Orang-orang itu menumbuk padi dengan yang namanya Lesung. Tempat menumbuk padi itu macam-macam, nak. Kalau lesung itu bentuknya panjang dan lebar, sedangkan Lumpang berbentuk tinggi dan lebih ramping.” Ada sebuah pertanyaan yang berhasil melintas di benak saya, kenapa lagu tersebut harus menggunakan Lesung dan bukan Lumpang?

“Lagu ini merakyat di tempatnya. Waktu itu bapak masih bujang, enduk. Tahun 80-an lagu itu sudah ada. Orang-orang membawa hasil panen ke rumah. Mereka menggelar terpal (semacam tikar) untuk meletakkan hasil panen. Kemudian mereka memasukkan ke dalam Lesung untuk ditumbuk. Bernyanyi bersama dengan bahagia. Begitulah cara orang-orang dahulu bekerja dengan bahagia.” Lanjut Ayah.

Lesung jumengglung, sru imbal-imbalan
Lesung jumengglung, maneter mangungkung
Ngumandhang ngebeki sak jroning pradesan
Thok thok thek, thok thok gung
Thok thok thek, thok thek thok gung
Thok thok thek, thok thok gung
thok thok thek, thok thek thok gung

Karena Ayah adalah orang yang humoris dan ceria, maka Ia menyanyikannya dengan ceria pula. Dalam tulisan ini, saya tidak berbicara tentang bagaimana ingatan Ayah saya sepenuhnya, melainkan lagu rakyat yang saya pikir benar-benar sangat merakyat di zamannya. Setidaknya lagu ini masih hidup mendampingi kehidupan areal pedesaan. Jika kita melihat video-video di Youtube mengenai lagu ini, pasti akan ada yang bertanya: “Oh, berarti ini lagu khusus untuk para petani?”, atau bisa saja orang awam beranggapan: “Jika lagu ini khusus untuk dunia persawahan, lantas mengapa di salah satu video menyertakan cuplikan orang yang sedang berkebun juga?”. Jadi saya akan menjawab keduanya dengan sederhana. Lagu ini lagu rakyat. Tidak pasti harus hidup dan berlaku bagi petani, tidak mesti hanya di wariskan pada lingkaran persawahan, intinya nyanyian rakyat dan siapa saja boleh menyanyikannya.

Kita kembali pada lirik lagu. Yang Ayah saya artikan kurang lebihnya seperti ini:

Bunyi lesung (tempat menumbuk padi), suaranya bergema dan terus-menerus
Bunyi lesung, dipukul lalu bersuara meliuk-liuk
Suara itu berkumandang memenuhi seluruh desa
Thok thok thek, thok thok gung
Thok thok thek, thok thek thok gung
Thok thok thek, thok thok gung
thok thok thek, thok thek thok gung

Lirik “thok thok thek thok gung” berarti suara dentuman yang dihasilkan dari pukulan Lesung. Konon, suara dari lesung inilah yang dianggap maskot dari lagu tersebut. Lagu ini sangat populer pada zamannya. Lagu ini diciptakan oleh Ki Narto Sabdo, seorang tokoh seniman Jawa dan dalang termahsyur pada setiap pementasan perwayangan. Hampir seluruh karya Ki Narto Sabdo (lagu atau tembang) ciptaannya senantiasa mendeskripsikan suasana kehidupan masyarakat Jawa pedesaan. Tembang ini biasanya dinyanyikan dengan aliran campursari.

Makna lagu ini sangat jelas bahwa suka cita telah menyambut hati masyarakat pedesaan Jawa dalam memanen hasil bumi yang sering disebut “polowijo” yang berarti bumbu-bumbuan. Namun Tembang ini lebih disimbolkan dan menggambarkan bahwa kegiatan “nutu padi” atau “menumbuk padi” ketimbang kegiatan kebun-berkebun. Ada amanah tersirat dibalik layar tembang ini. “Hasil padi zaman dahulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Kalau dulu ditumbuk dengan tenaga, kalau sekarang di olah menggunakan mesin modern (gilingan padi). Orang-orang zaman dulu juga kuat-kuat, kalau sekarang sudah bergantung pada teknologi, enduk. Sudah beda jauh.”, terang Ayah saya.

Setidaknya terdapat sebuah alasan dibalik ulasan dari tulisan saya ini. Terlebih, saya sendiri merupakan keturunan darah Jawa yang merindukan tradisi budaya keluarga yang sudah sangat jauh jaraknya. Era globalisasi benar-benar menyulap kesederhanaan menjadi kecanggihan hingga ke akhir zaman. Dikatakan pula oleh Luzbetak, bahwa kebudayaan senantiasa berubah sebab individu-individu dari masyarakat secara tetap memodifikasi “plan for successful living”[1] (Raymundus Rede Blolong dalam buku Dasar-Dasar Antropologi Budaya).