Senin, 24 April 2017

Perpuisian Indonesia: Menghadap Meja Hijau?

Oleh: Sintya Alfatika Sari

Para hakim sudah duduk (meja mereka ditutup beledu hijau tapi palu sidang tidak ada, jadi pakai batu dibungkus koran), jaksa dan pembela begitu pula, serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan itu. Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya. Judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu, paling kurang pada dua kata pertama: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”

Kesusastraan Indonesia modern selalu diwarnai oleh perdebatan yang menyangkut berbagai hal. Misalnya dapat mencatat polemik mengenai ada tidaknya krisis dalam sastra Indonesia, adanya kasus yang katanya plagiat, manifes kebudayaan, cerpen dan novel ternama, metode kritik sastra, ada tidaknya Angkatan 66 dalam sastra Indonesia, Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir, peran sastra dalam perubahan sosial, mengenai Angkatan '70 atau '80 dalam sastra Indonesia, sastra kontekstual dan lain-lain. Dalam pembahasan kali ini (dalam polemik kesusastraan Indonesia) yaitu tentang Pengadilan Puisi Indonesia.

Pengadilan Puisi (PPIM) 1974, merupakan gagasan awal dari Yayasan Arena yang diselenggarakan di Universitas Parahyangan Bandung, 8 September 1974. Melalui Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail menerima surat dari Ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H., yang berisi undangan untuk baca sajak di Bandung dan mengikuti suatu acara kegiatan sastra. Pada saat Taufiq Ismail meminta untuk mengundurkan acaranya di minggu pertama atau minggu kedua bulan September. Maka dimulailah pada tanggal 8 September 1974. Sekitar dua minggu setelah itu, diselenggarakanlah acara “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” dari mereka (masyarakat sastra) di Bandung.
Si Terdakwa ialah Puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Anehnya, Sapardi Joko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa turut pula menjadi pembela. Demikian pula Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa,, berfungsi pula sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa, karena ia turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua para Saksi, yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri. Menurut saksi ini, semua, mereka itu hanya mendompleng pada gaya CA, dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.

Slamet Kirnanto dalam "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!" menyatakan "menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasal yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam "Peradilan Puisi Kontemporer", mengajukan tuntutan sebagai berikut:
“Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus "dipensiunkan" dari peranan yang pernah mereka miliki. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan. Para penyair mapan: Subagio, W.S Rendra, Goenawan Mohamad, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.”

Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh H.B. Jassin, terhadap tidak dibicarakannya Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan” oleh MSH dan HBJ, terhadap gejala “saling memuji” di dalam tiga serangkai Goenawan Mohamad cum Sapardi Djoko Damono cum Abdul Hadi W.M., terhadap Horison yang “tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus jadi majalah keluarga”, dan “tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi”.

Dalam Pengadilan Puisi ini sudah sewajarnya dihadirkan juga para penyair dan para kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Mengadili para penyair dan para kritikus in absentia. Sedangkan mereka tidak melarikan diri dan masih di dalam negeri ini, adalah suatu kelainan yang tidak boleh terjadi dalam prosedur pengadilan di negeri mana pun yang menghormati keadilan. Yang diadili adalah Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo dan W.S. Rendra.

Adapun ketidakpuasan yang melatar belakangi Pengadilan Puisi:
1. Sistem penilaian terhadap puisi
2. Kritikus sastra Indonesia
3. Media yang memuat karya sastra
4. Penyair yang dianggap mapan.

Menurut gagasan Darmanto (1970) bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Alhasil, Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, terdapat orang-orang yang memberikan kesaksian dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan. Jaksanya adalah seorang Slamet Kirnanto. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman yang didampingi hakim Darmanto.

Media sastra Horison dan Budaya Jaya di anggap tidak mampu lagi menjalankan perannya dengan penuh pertanggung jawaban. Pada awalnya Horison menunjukkan janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya sastra yang sehat tiba-tiba terjerumus menjadi majalah keluarga. Mendoktrin mereka agar memilih sastra sesuai selera mereka. Mereka lupa bahwa majalah tidak hanya tergantung pada kemauan redaksi, melainkan karena didukung oleh penulis-penulis dan publik pembaca. Terlebih para redaktur, adalah seniman-seniman yang secara tidak langsung melibatkan diri dibalik penulisan tersebut, yang mengandung semacam keadaan di mana hanya karya-karya yang mirip atau memiliki kecenderungan yang sama dengan mereka lah yang sudah pasti akan di muat karyanya. (Eneste, 1986)

Apabila seorang kritikus dianggap tidak becus, lebih simpatiklah rasanya bila tampil kritikus lain untuk memperlihatkan kelihaiannya, sehingga dengan sendirinya kritikus yang tidak becus itu tergeser dari kedudukannya. Demikian pula para penyair. Bukanlah mereka seharusnya saling menjelekkan, tapi hendaklah berusaha memberikan hasil yang baik menurut bakatnya. Manakah penyair yang disebut besar? Apakah ciri-ciri kebesaran sebagai penyair? Penyair manakah yang disebut penyair kecil dan apakah pula ciri-cirinya? Apakah yang disebut epigon? Di mana batas antara penyair besar, penyair kecil, dan epigon? Dapatkah dari semula mengatakan seorang penyair besar tanpa melihat perkembangannya ke depan? Tidakkah lebih baik menghubungkan epigonisme dengan pembentukan mazhab, yakni kumpulan atau golongan orang-orang sealiran dalam gaya tanggapan alam.pikiran? Bahwa ada kemungkinan persamaan-persamaan antara beberapa penyair seangkatan adalah suatu hal yang tidak selalu harus disebabkan karena epigonisme, tapi karena adanya persekeluargaan atau persenyawaan pikiran. Yang perlu diperhatikan adalah apakah ada pula perbedaan-perbedaan yang unik antara mereka semua. Dan apabila para penyair saling membicarakan sajak-sajaknya, bukanlah harus berarti bahwa mereka saling masturbasi, tapi karena memang ada saling simpati karena mengenali dan saling menyenangi oleh adanya persamaan alam pikiran. Inilah beberapa catatan yang bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir oleh HB Jassin.

Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya. Sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Bukan perkembangan puisi yang brengsek, sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Inilah jawaban M.S. Hutagalung terhadap tuntutan Slamet Kirnanto.

Menurut Sapardi Djoko Damono, tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang dibagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di Bandung. Ia berpendapat bahwa Kirnanto adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.

 Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir diadakan karena forum-forum resmi dianggap membosankan dan ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusatraan (dalam hal puisi). Bisa jadi kocak, menghambar atau juga bisa konyol. Mengenai forum ini merupakan cara berdiskusi yang baru. Menurut Goenawan Mohamad tentang "tuntutan" Slamet Kirnanto mengenai Pengadilan Puisi, Slamet Kirnanto menghantam H.B. Jassin, mengecam Horison, menabok epigonisme terhadap barat dan lain-lainnya, yang di anggap sebagai ke-klise-an. Baginya, Pengadilan Puisi menunjukkan ciri-ciri beberapa seniman yang gemar mencari bentuk baru dengan tingkah laku dan ucapan yang kontroversial untuk menarik khalayak umum.

Sumber: Eneste Pamusuk, Pengadilan Puisi, Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, 1986


Tidak ada komentar:

Posting Komentar