Senin, 17 April 2017

Tali Nostalgia dari Lampau Untuk Samarinda

Dari Bongaya Ke Samarendah
Oleh: Sintya Alfatika

Legenda adalah cerita dari jaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Yang pasti, legenda pernah terjadi dan terjadi belum terlalu lama. Legenda bersifat sekuler, yaitu keduniawian. Legenda bersifat migratoris (berpindah-pindah), maka tak heran jika Legenda Malin Kundang, Legenda Tangkuban Perahu dan sebagainya sangat banyak versi (tergantung di daerah mana dan siapa yang menceritakan legenda tersebut). Karena legenda bervariasi, diperkirakan akan selalu ada pertumbuhan legenda di dunia.


Legenda memiliki jenis yang berbeda, di antaranya:
1. Legenda Keagamaan.
Legenda ini biasanya mengisahkan penghidupan orang-orang suci dan saleh, seperti Legenda Syekh Siti Jenar.
2. Legenda Alam Gaib.
Legenda ini berbau mistik dan sangat mendukung takhayul. Contoh, Legenda Hantu Kuyang yang sangat terkenal kisahnya di Pulau Kalimantan.
3. Legenda Perseorangan.
Legenda ini mengisahkan tentang seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa dan biasanya menggambarkan seseorang yang sangat sakti dan hebat. Misal, Jaka Tarub dan Gatot Kaca.
4. Legenda Setempat.
Legenda ini tentu saja tumbuh dan berkembang karena terdapat suatu tempat yang konon dipercaya terbentuk karena asal usul tertentu. Contohnya yaitu Legenda Batu Cermin dan Legenda Gunung Menangis yang ada di Pulau Kalimantan.


Berbicara tentang legenda kali ini saya menulis sedikit ulasan dan pengalaman mengenai Legenda seorang tokoh pembentuk Kota Samarinda, ia adalah La Mohang Daeng Mangkona.


La Mohang Daeng Mangkona adalah tokoh masyarakat sekaligus tokoh bersejarah di balik perkembangan Kota Samarinda. Ia adalah sosok berdarah Bugis yang pernah menetap di Samarinda Seberang bersama pengikutnya. Ia dimakamkan di Samarinda Seberang, Jl. ABD. Rasyid (Masjid Shiratal Mustaqim) atau Masjid Tertua di Kalimantan Timur. Hingga saat ini makam Daeng Mangkona dan pengikutnya ditetapkan sebagai Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona dan menjadi objek wisata religi utama di Samarinda.


Untuk berkunjung ke sana membutuhkan sedikitnya kurang lebih 38 menit perjalanan (ditinjau dari Pusat Perbelanjaan Citra Niaga Samarinda). Dari sana kita menyeberangi Sungai Mahakam dengan jalur alternatif andalan warga etam, yang akrab di sapa Jembatan Mahakam. Letak Jembatan Mahakam sangat strategis. Kita dapat menikmati semilir angin yang melaju ke muara sembari melihat gedung-gedung perbelanjaan modern yang menjulang tinggi di tepi Sungai Mahakam. Kapal kecil hingga besar layaknya mengadakan perlombaan sehingga terlihat melaju bersahabat. Tak lupa pepohonan yang rimba masih setia menghias bebatuan alam.


Tepat di Lokasi Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona kita disambut dengan baik oleh seorang juru kunci sekaligus penjaga makam Daeng Mangkona. Di sana kita dapat menggali informasi mengenai sejarah kedatangan Daeng Mangkona beserta pengikutnya. Diperkirakan makam Daeng Mangkona berusia sekitar 300 tahun. Konon, siapa saja yang dapat melihat sosok gaib (indigo) dapat bertemu dengan “penjaga” makam yang menurut saksi, berwujud ular dan berkepala seperti naga.


Lokasi Taman Makam La Mohang Daeng Mangkona – Samarinda Sebrang.

Berikut adalah sedikit ulasan tentang sejarah terbentuknya Kota Samarinda.
Pada tanggal 18 November 1667 di sebuah desa yang dinamakan Bungaya yang terletak dekat Barombong yang direbut oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu diadakanlah perundingan. Perundingan inilah yang kemudian menghasilkan sebuah perjanjian yang terkenal di dalam sejarah Indonesia dengan nama "Perjanjian Bungaya." Oleh orang-orang Belanda perjanjian ini disebut "Het Bongaais Verdrag." Orang-orang Makassar menamakan perjanjian itu "Cappaya ri Bungaya" yang artinya Perjanjian di Bungaya. Tepatnya nama desa tempat perjanjian itu ditandatangani ialah Bungaya bukan Bongaya atau Bonggaya dan sebagainya. Adapun 10 pokok dari "Perjanjian Bungaya" kurang lebih sebagai berikut:

Pasal 1
Menyetujui perjanjian tanggal 19 Agustus 1660 yang di adakan di Batavia antara Karaeng Popo sebagai wakil berkuasa penuh Kerajaan Gowa dan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan Perjanjian yang disetujui pada tanggal 2 Desember 1660 oleh Kerajaan Gowa dan Jacob Cau sebagai Komisaris Belanda.

Pasal 2
Semua pegawai bangsa Eropa dan kawula Kompeni (VOC) yang ada di Sombaopu (Makassar) dan sekitarnya, baik yang baru saja menyebrang atau lari ke pihak Gowa maupun yang sudah lama berada di Gowa tanpa ada kecuali harus segera diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 3
Semua alat-alat, meriam-meriam, uang kontan dan barang-barang lainnya yang telah di ambil atau di sita oleh pemerintah Kerajaan Gowa yang berasal dari kapal "de Walvis" yang mendapat kecelakaan atau kandas di Pulau Selayar dan dari kapal "de Leuwin" yang kandas di Pulau Doang-Doangan (Don Doange) harus di serahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 4
Orang-orang yang bersalah karena di sana-sini telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda dan mereka yang telah merusak kapal-kapal Belanda akan dihukum di hadapan Residen Belanda.

Pasal 5
Orang-orang yang mempunyai hutang kepada Kompeni Belanda (VOC) harus membayar lunas segala hutangnya dalam waktu yang tidak begitu lama.

Pasal 6
Orang-orang Portugis dan orang-orang Inggris harus meninggalkan Gowa sebelum akhir tahun. Raja Gowa tidak boleh mengizinkan bangsa-bangsa Eropa yang lainnya untuk berdagang di dalam wilayah Kerajaan Gowa, pun tidak boleh menerima duta atau perutusan dan surat apa pun dari mereka.

Pasal 7
Semua orang Eropa kecuali Kompeni Belanda, dilarang berdagang di daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, hanya Kompeni Belanda saja yang boleh memasukkan atau menjual barang-barang dan bahan-bahan pakaian impor dari Parsi dan India serta barang-barang dari negeri Cina. Orang-orang yang melanggar ketentuan akan di hukum dan barang-barangnya akan di sita oleh Kompeni VOC. Dalam larangan ini tidak termasuk bahan-bahan pakaian kasar yang di tenun di daerah-daerah pesisir timur Pulau Jawa.

Pasal 8
Kompeni Belanda (VOC) dibebaskan dari segala bea dan biaya pemasukan atau pengeluaran barang-barang dagangan yang di angkut.

Pasal 9
Orang-orang Makassar hanya boleh berlayar ke daerah-daerah seperti Bali, Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor dan Kalimantan dengan memohon surat pas atau izin berlayar dari Kompeni VOC. Orang-orang yang didapati di daerah ini tanpa pas atau surat izin akan dianggap sebagai musuh ditangkap atau disita barang-barangnya. Selanjutnya orang-orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor, Timur dan lain-lainnya ke sebelah timur Selat Selayar, sebelah utara dan timur Pulau Kalimantan, ke Mindanau (Filipina) atau ke pulau-pulau di sekitarnya. Siapa yang melanggar hal ini akan di dapati di daerah-daerah ini dapat ditangkap dan disita barang-barangnya.

Pasal 10
Semua benteng di tepi pantai yang di perkuat untuk melawan Kompeni Belanda (VOC) seperti Benteng Barombong, Benteng Panakukan, Benteng Garassi, Benteng Marisso dan lain-lainnya harus di musnahkan, juga tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan yang baru di manapun. Hanya benteng Sombaupu yang besar itu yang boleh tetap berdiri untuk Kerajaan Gowa.

Belanda yang memang sangat licik dan pandai memilih serta mempergunakan saat yang sebaik baiknya. Menganggap sekarang sudah tibalah saatnya untuk mengadakan perundingan dan membicarakan soal perdamaian. Saat itu di pilih dengan tepat oleh Belanda dengan kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Aru Palaka dan pasukan-pasukan bugisnya pada saat terakhir itu pihak Kerajaan Gowa akan mengira bahwa pasukan-pasukan Belanda dan sekutunya masih segar dan hebat kekuatannya.

Sesungguhnya Perjanjian Bongaya ditandatangani namun ketegangan antara Kerajaan Gowa dan Belanda (VOC) masih berlangsung terus. Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan orang-orang Makassar ini sungguh melegakan hati orang-orang Belanda (VOC) yang sudah sangat payah keadaannya. Pasukan-pasukan Belanda (VOC) sangat menyedihkan keadaannya. Tidak kurang dari 182 serdadu dan 96 pelaut armada sangat gawat keadaannya.
Pada saat pecah Perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makassar dari laut, sedangkan Aru Palaka membantu menyerang dari daratan. Cornelis Janzoons Speelman adalah pimpinan militer dari Jenderal Hindia Belanda (1681-1684) yang lahir di Rotterdam, Belanda, 3 Maret 1628. Speelman terkenal karena berhasil merebut Surabaya dari tangan Mataram dan Trunajaya. Juga merupakan Gubernur Jenderal pertama yang mendorong transformasi dari penguasaan ekonomi tanah jajahan menjadi penguasaan teritorial. Speelman wafat di Jakarta pada 11 Januari 1684.

Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya tersebut, Dengan demikian masyarakat sulsel dihadapkan pada dua alternatif yaitu merantau atau tetap tinggal di tanah kelahirannya sebagai petani). Pedagang atau pelaut pada umumnya memilih alternatif pertama sehingga banyak menghasilkan kisah-kisah petualangan mereka di kawasan barat dan selatan nusantara.
Ada pula yang memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke pulau-pulau lain. Ia adalah La Mohang Daeng Mangkona, yang memilih meninggalkan tanah leluhurnya untuk melewati dan melintasi Selat Makassar menuju Kalimantan Timur, Kerajaan Kutai.

Rombongan La Mohang Daeng Mangkona cukup besar berjumlah berkisar 200 orang dan menggunakan 18 perahu. Kedatangan rombongannya diterima dengan baik oleh Sultan Adipati MojoKusuma (1650-1686) yang saat itu bertakhta di Pemarangan (sekarang Kampung Jembayan). Atas kesepakatan dan perjanjian oleh Raja Kutai rombongan pengungsi tersebut diberi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti Samarinda Seberang. Yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk berbagai macam usaha, baik pertanian hingga perdagangan. Di sinilah La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya membuka hutan mencatat areal persawahan tanah hujan. Mereka membangun rumah-rumah yang membujur sepanjang tepian Mahakam yang dikerjakan secara gotong-royong. Sama tinggi dan areal persawahan yang sama rendah dan dibagi rata yang menyebabkan perbedaan derajat kearistokratan yang sebenarnya dibawa dari tanah asal mereka menjadi hilang (egaliter). Untuk kepentingan pertahanan Daeng Mangkona dan pengikutnya diberi tempat yang subur di daerah pinggiran tepian Sungai Mahakam. Keberadaan di tempat tersebut selain membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dam perkembangan perekonomian Raja Kutai. Semakin lama kampung yang baru berkembang serta makmur. Pendatang dari Sulawesi menjadi banyak dan menetap menjadi penduduk.


Daerah itu pun dinamai Samarendah yang kian lama berubah menjadi Samarinda. Raja Kutai mengakui La Mohang Daeng Mangkona sebagai komunitas dengan gelar Pua Ado. Orang-orang Bugis Wajo mulai membangun pemukiman di daerah Samarinda pada Januari 1668. Yang kemudian menjadi patokan hari jadi kota Samarinda (21 Januari 1968). Seiring berjalannya waktu berkembanglah kampung-kampung dengan etnis berbeda di jantung Kota Samarinda, seperti dari Banjar Kalimantan selatan. Namun orang-orang Banjar membuka perkampungan kecil yaitu mulai dari daerah Loa Buah, Loa Bakung, Karang Asam, Air Putih hingga Karang Mumus. Terbentuknya pemukiman-pemukiman baru itu sering di pandang sebagai perluasan pemukiman kelompok kaumnya. Perluasan itu disebabkan beberapa faktor antara lain karena lahan mata pencahariannya jauh, padatnya jumlah penduduk dalam pemukiman awal, persebaran karena wabah dan konflik internal. Pada dasarnya karena faktor yang disebutkan itu memberikan kesempatan pada munculnya satu kesatuan baru yang terlepas dari pengaruh daerah awal. Di saat itu pula pengaruh Belanda juga semakin pesat dan menjadikan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan di seluruh Kutai dan menjadikan tempat yang mereka diami menjadi Samarinda Kota. Tadinya Samarinda yang dibangun Daeng Mangkona adalah pusat perwakilan Kerajaan Kutai. Yang lama kemudian berubah karena Belanda membangun perkembangan kota yang lebih maju dan menyatukan daerah seberang sungai menjadi Kota Samarinda.


Hari jadi Kota Samarinda merupakan sejarah keberadaan Kota Samarinda yang juga merupakan kebanggaan bagi warganya. Berdasarkan hasil keputusan seminar hari jadi Kota Samarinda yang berlangsung dari tanggal 5 s/d 6 September 1987 yang telah membahas dan menggali tanggal hari jadi Kota Samarinda dari sumber-sumber sejarah.


Sejarah Kota Samarinda sangat melekat erat dengan sosok La Mohang Daeng Mangkona, yang juga menyeret segelintir suasana pertentangan dengan pihak Hindia Belanda. Kisahnya membuat Samarinda semakin merekah. Yang sangat di sayangkan adalah kurangnya sumber informasi mengenai seberapa pentingnya seorang Daeng Mangkona bagi perkembangan Kota Etam. Maka harapan yang akan selalu di harapkan adalah semoga setelah ini akan tumbuh lagi referensi-referensi yang jauh lebih akurat, memuaskan, dan menarik mengenai informasi tokoh-tokoh penting di balik Kota Tepian ini.


Daftar Pustaka:
Balham Johansyah, Riwayat Samarinda dan Cerita Legenda Kalimantan Timur, Biro Humas Pemprov Kalimantan Timur, 2009
Muzakir Djahar dkk, Mari Mengenal Kota Samarinda, Penerbit CV Spirit Komunika, Samarinda, 2007
MD. Sagimun, Pahlawan Nasional Sultan Hasanudin: Ayam Jantan dari Ufuk Timur, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1992
Kerjasama Pemerintah Kotamadya Dati II samarinda dengan Kantor Statistik Kotamadya Samarinda, Monografi Kotamadya Dati II Samarinda 1992
Pemerintah Daerah Provinsi Tingkat I Kalimantan Timur, Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur Dari Masa Ke Masa, 1992
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun, 1979
Anwar Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Amelia Surabaya, 2003



Tidak ada komentar:

Posting Komentar